Kamis, 28 Mei 2009

PP 43/1993, PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN

PP 43/1993, PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN
Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor:43 TAHUN 1993 (43/1993)
Tanggal:14 JULI 1993 (JAKARTA)
_________________________________________________________________

Tentang:PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: a.bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diatur ketentuan-ketentuan
mengenai prasarana dan lalu lintas jalan;

b.bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai prasarana dan lalu
lintas jalan dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat: 1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3480) jo. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992
tentang Penangguhan Mulai berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai Undang-undang (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3494);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PRASARANA
DAN LALU LINTAS JALAN.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.Jalur adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas
kendaraan;

2.Lajur adalah bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka
jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang
berjalan, selain sepeda motor; *24172

3.Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
teknik yang berada pada kendaraan itu;

4.Sepeda motor adalah kendaraan bermotor beroda dua atau tiga tanpa
rumah-rumah, baik dengan atau tanpa kereta samping;

5.Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh
tenaga orang atau hewan;

6.Persimpangan adalah pertemuan atau percabangan jalan, baik sebidang
maupun yang tidak sebidang;

7.Berhenti adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk
sementara dan pengemudi tidak meninggalkan kendaraannya;

8.Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak
bersifat sementara;

9.Pemakai jalan adalah pengemudi kendaraan dan/atau pejalan kaki;

10.Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau
orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang
belajar mengemudikan kendaraan bermotor;

11.Hak utama adalah hak untuk didahulukan sewaktu menggunakan jalan;

12.Menteri adalah menteri bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan.

BAB II MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

Bagian Pertama Manajemen Lalu Lintas

Pasal 2

(1)Manajemen lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan,
pengawasan, dan pengendalian lalu lintas.

(2)Kegiatan perencanaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi :

a.inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan; b.penetapan tingkat
pelayanan yang diinginkan; c.penetapan pemecahan permasalahan lalu
lintas; d.penyusunan rencana dan program pelaksanaan perwujudannya;

(3)Kegiatan pengaturan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi kegiatan penetapan kebijaksanaan lalu lintas pada
jaringan atau ruas-ruas jalan tertentu.

(4)Kegiatan pengawasan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :

*24173 a.pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan
kebijaksanaanlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3);
b.tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

(5)Kegiatan pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :

a.pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan kebijaksanaan lalu
lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3); b.pemberian bimbingan dan
penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban masyarakat
dalam pelaksanaan kebijaksanaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).

Pasal 3

(1)Pengaturan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
yang bersifat perintah dan/atau larangan, ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dan diumumkan dalam Berita Negara.

(2)Perintah dan/atau larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dinyatakan dengan rambu-rambu lalu lintas, makrka jalan,
dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas.

Bagian Kedua Rekyasa Lalu Lintas

Pasal 4

(1)Dalam rangka pelaksanaan manajemen lalu lintas di jalan, dilakukan
rekayasa lalu lintas.

(2)Rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi
:

a.perencanaan, pembangunan dan pemeleiharaan jalan; b.perencanaan,
pengadaan, pemasangan, dan pemeliharaan rambu-rambu, marka jalan, alat
pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan pengaman
pemakai jalan.

(3)Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, meliputi
perencanaan kebutuhan, perencanaan pengadaan dan pemasangan,
perencanaan pemeliharaan, serta penyusunan program perwujudannya.

(4)Pengadaan, pemasangan, dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b, merupakan pelaksanaan program perwujudan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).

(5)Pemasangan dan penghapusan setiap rambu-rambu lalu lintas, marka
jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan
pengaman pemakai jalan harus didukung dengan sistem informasi yang
diperlukan.

*24174 Bagian Ketiga Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Pasal 5

(1)Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (2) huruf b, dilakukan oleh Menteri.

(2)Pelaksanaan rekayasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a, dilaksanakan oleh pembina jalan.

(3)Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan setelah mendengar pendapat
instansi terkait.

Pasal 6

Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu-rambu lalu lintas, marka
jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan
pengaman pemakai jalan dapat dilakukan oleh instansi, badan usaha atau
warga negara Indonesia, dengan ketentuan :

a.penentuan lokasi dan penempatannya mendapat persetujuan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
b.memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

BAB III JARINGAN TRANSPORTASI JALAN

Pasal 7

(1)Jaringan transportasi jalan diwujudkan dengan menetapkan rencana
umum jaringan transportasi jalan.

(2)Rencana umum jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), meliputi :

a.rencana umum jaringan transportasi jalan primer; b.rencana umum
jaringan transportasi jalan sekunder.

(3)Rencana umum jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), memuat hal-hal sebagai berikut :

a.rencana lokasi ruang kegiatan yang harus dihubungkan oleh ruang lalu
lintas; b.prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal dan
tujuan perjalanan; c.arah dan kebijaksanaan peranan transportasi di
jalan dalam keseluruhan moda transportasi; d.rencana kebutuhan lokasi
simpul; e.rencana kebutuhan ruang lalu lintas.

Pasal 8

(1)Rencana umum jaringan transportasi jalan ditetapkan berdasarkan
kebutuhan transportasi, fungsi, peranan, kapasitas lalu lintas, dan
kelas jalan. *24175 (2)Rencana umum jaringan transportasi jalan primer
dan jalan sekunder sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan
dengan Keputusan Menteri setelah mendengar pendapat Menteri terkait
dan/atau Gubernur Kepala daerah Tingkat I yang bersangkutan.

Pasal 9

(1)Rencana umum jaringan transportasi jalan merupakan pedoman dalam
penyusunan rencana umum dan perwujudan unsur-unsur jaringan
transportasi jalan.

(2)Unsur-unsur jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi :

a.simpul berupa terminal transportasi jalan, terminal angkutan sungai
dan danau, setasiun kereta api, pelabuhan penyeberangan, pelabuhan
laut, dan bandar udara;

b.ruang kegiatan berupa kawasan pemukiman, industri, pertambangan,
pertanian, kehutanan, perkantoran, perdagangan, pariwisata dan
sebagainya;

c.ruang lalu lintas berupa jalan, jembatan atau lintas penyeberangan.

BAB IV KELAS JALAN, JARINGAN TRAYEK DAN JARINGAN LINTAS

Bagian Pertama Kelas Jalan

Pasal 10

(1)Untuk keperluan pengaturan penggunaan dan pemenuhan kebutuhan
angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas.

(2)Pembagian jalan dalam beberapa kelas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan moda
secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik
masing-masing moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan
sumbu terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan.

Pasal 11

(1)Kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 terdiri dari :

a.Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton;

b.Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar *24176 tidak melebihi
2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan
muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton;

c.Jalan kelas IIIA, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat
dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak
melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidakmelebihi 18.000
milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton;

d.Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton;

e.Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan
sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.

(2)Besarnya muatan sumbu terberat yang diizinkan melebihi 10 ton
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diatur lebih lanjut
dengan Keutusan Menteri setelah mendengar pendapat Menteri yang
bertanggung jawab dalam bidang pembinaan jalan.

Pasal 12

Menteri menetapkan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) setelah mendengar pendapat pembina jalan.

Pasal 13

(1)Penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 pada
ruas-ruas jalan, diumumkan dalam Berita Negara dan dimuat dalam Buku
Jalan yang diterbitkan oleh Menteri untuk disebarluaskan kepada
masyarakat.

(2)Penetapan kelas jalan pada ruas-ruas jalan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dinyatakan dengan rambu-rambu.

Bagian Kedua Jaringan Trayek

Pasal 14

(1)Jaringan trayek merupakan kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi
satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan orang.

(2)Jaringan trayek sebagimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan memperhatikan :

a.kebutuhan angkutan; b.kelas jalan yang sama da/atau yang lebih
tinggi; c.tipe terminal yang sama dan/atau lebih tinggi; d.tingkat
pelayanan jalan; *24177 e.jenis pelayanan angkutan; f.rencana umum
tata ruang; g.kelestarian lingkungan.

(3)Jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga Jaringan Lintas

Pasal 15

(1)Jaringan lintas merupakan kumpulan dari lintas-lintas yang menjadi
satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan barang.

(2)Jaringan lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan memperhatikan :

a.kebutuhan angkutan; b.kelas jalan yang sama dan/atau yang lebih
tinggi; c.tingkat keselamatan angkutan; d.tingkat pelayanan jalan;
e.tersedianya terminal angkutan barang; f.rencana umum tata ruang;
g.kelestarian lingkungan.

(3)Jaringan lintas angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pendapat Menteri yang
bertanggung jawab dalam bidang pembinaan jalan.

(4)Penetapan jaringan lintas angkutan barang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara dan dimuat dalam Buku
Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).

Pasal 16

(1)Mobil angkutan barang tertentu yang telah ditetapkan jaringan
lintasnya hanya dapat dioperasikan melalui jaringan lintasan yang
bersangkutan.

(2)Mobil barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

BAB V PERLENGKAPAN JALAN

Bagian Pertama Rambu-rambu

Pasal 17

(1)Rambu-rambu terdiri dari 4 golongan :

a.rambu peringatan; b.rambu larangan; c.rambu perintah; d.rambu
petunjuk.

*24178 (2)Rambu peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a, digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau tempat berbahaya
pada jalan di depan pemakai jalan.

(3)Rambu larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh
pemakai jalan.

(4)Rambu Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c,
digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh pemakai
jalan.

(5)Rambu Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi,
kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lain-lain bagi pemakai jalan.

(6)Ketentuan lebihlanjut mengenai jenis rambu-rambu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18

(1)Rambu-rambu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
ditempatkan secara tetap.

(2)Dalam keadaan dan kegiatan tertentu dapat digunakan rambu-rambu
yang bersifat sementara.

(3)Pada rambu-rambu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dapat ditambahkan papan tambahan dibawahnya yang memuat keterangan
yang diperlukan untuk menyatakan hanya berlaku untuk waktu-waktu,
jarak-jarak dan jenis kendaraan tertentu ataupun perihal lainnya.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan lokasi, bentuk dan
ukuran, lambang, tata cara penempatan, pemasangan, pemindahan, warna
dan arti dari setiap rambu-rambu dan papan tambahan diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kedua Marka Jalan

Pasal 19

(1)Marka jalan berfungsi untuk mengatur lalu lintas atau
memperingatkan atau menuntun pemakai jalan dalam berlalu lintas di
jalan.

(2)Marka jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a.marka membujur; b.marka melintang; c.marka serong; d.marka lambang;
e.marka lainnya.

Pasal 20

Marka membujur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf
*24179 a, berupa:

a.garis utuh;
b.garis putus-putus;
c.garis ganda yang terdiri dari garis utuh dan garis putus-putus;
d.garis ganda yang terdiri dari dua garis utuh.

Pasal 21

(1)Marka membujur berupa garis utuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf a, berfungsi sebagai larangan bagi kendaraan melintasi garis
tersebut.

(2)Marka membujur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila berada
ditepi jalan hanya berfungsi sebagai peringatan tanda tepi jalur lalu
lintas.

(3)Marka membujur berupa garis putus-putus sebagaimana dimaksud dalam
pasal 20 huruf b, merupakan pembatas lajur yang berfungsi mengarahkan
lalu lintas dan/atau memperingatkan akan ada marka membujur yang
berupa garis utuh didepan.

(4)Marka membujur berupa garis ganda yang terdiri dari garis utuh dan
garis putus-putus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c,
menyatakan bahwa kendaraan yang berada pada sisi garis utuh dilarang
melintasi garis ganda tersebut, sedangkan kendaraan yang berada pada
sisi garis putus-putus dapat melintasi garis ganda tersebut.

(5)Marka membujur berupa garis ganda yang terdiri dari dua garis utuh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d, menyatakan bahwa
kendaraan dilarang melintasi garis ganda tersebut.

Pasal 22

(1)Marka melintang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf
b, berupa :

a. garis utuh; b. garis putus-putus.

(2)Marka melintang berupa garis utuh sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a, menyatakan batas berhenti bagi kendaraan yang diwajibkan
berhenti oleh alat pemberi isyarat lalu lintas atau tambu stop.

(3)Marka melintang berupa garis putus-putus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, menyatakan batas yang tidak dapat dilamapui
kendaraan sewaktu memberi kesempatan kepada kendaraan yang mendapat
hak utama pada persimpangan.

Pasal 23

(1)Marka serong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c,
berupa garis utuh.

(2)Marka serong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang *24180
dibatasi dengan rangka garis utuh digunakan untuk menyatakan :

a.daerah yang tidakboleh dimasuki kendaraan; b.pemberitahuan awal
sudah mendekati pulau lalu lintas.

(3)Marka serong sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilarang dilintasi
kendaraan.

(4)Marka serong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dibatasi
dengan rangka garis putus-putus digunakan untuk menyatakan kendaraan
tidak boleh memasuki daerah tersebut sampai mendapat kepastian
selamat.

Pasal 24

(1)Marka lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf d,
dapat berupa panah, segitiga atau tulisan, dipergunakan untuk
mengulangi maksud rambu-rambu atau untuk memberitahu pemakai jalan
yang tidak dapat dinyatakan dengan rambu-rambu.

(2)Marka lambang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditempatkan
secara sendiri atau dengan rambu lalu lintas tertentu.

Pasal 25

(1)Marka lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf e,
adalah marka jalan selain marka membujur, marka melintang, marka
serong dan marka lambang.

(2)Marka lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang berbentuk :

a.garis utuh baik membujur, melintang maupun serong untuk menyatakan
batas tempat parkir; b.garis-garis utuh yangmembujur tersusun
melintang jalan untuk menyatakan tempat penyeberangan; c.garis utuh
yang saling berhubungan merupakan kombinasi dari garis melintang dan
garis serong yang membentuk garis berbiku-biku untuk menyatakan
larangan parkir.

Pasal 26

Marka jalan yang dinyatakan dengan garis-garis pada permukaan jalan
dapat digantikan dengan paku jalan atau kerucut lalu lintas.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, ukuran, warna, tata cara
penempatan, persyaratan, penggunaan dan penghapusan marka jalan,
diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga Alat pemberi Isyarat Lalu Lintas

Pasal 28

*24181 (1)Alat pemberi isyarat lalu lintas berfungsi untuk mengatur
kendaraan dan/atau pejalan kaki.

(2)Alat pemberi isyarat lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), terdiri dari :

a.lampu tiga warna, untuk mengatur kendaraan; b.lampu dua warna, untuk
mengatur kendaraan dan/atau pejalan kaki; c.lampu satu warna, untuk
memberikan peringatan bahaya kepada pemakai jalan.

(3)Alat pemberi isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a,
dengan susunan : a.cahaya berwarna merah; b.cahaya berwana kuning;
c.cahaya berwarna hijau.

(4)Alat pemberi isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,
dengan susunan : a.cahaya berwarna merah; b.cahaya berwarna hijau.

(5)Alat pemberi isyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c,
berupa cahaya berwarna kuning atau merah kelap-kelip.

Pasal 29

(1)Cahaya berwarna merah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3)
huruf a, dipergunakan untuk menyatakan kendaraan harus berhenti.

(2)Cahaya berwarna kuning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3)
huruf b, menyala sesudah cahaya berwarna hijau, menyatakan kendaraan
yang belum sampai pada marka melintang dengan garis utuh bersiap untuk
berhenti.

Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan lokasi, bentuk ukuran,
konstruksi, tata cara penempatan, dan susunan alat pemberi isyarat
lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diatur dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Keempat Kekuatan Hulum Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas,
Rambu-rambu, dan Marka Jalan serta Kedukan Petugas Yang Berwenang

Pasal 31

(1)Pemasangan rambu-rambu lalu lintas, marka jalan dan/atau alat
pemberi isyarat lalu lintas, harus diselesaikan paling lama 60 hari
sejak tanggal larangan dan/atau perintah diumumkan dalam Berita Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2)Rambu-rambu lalu lintas, marka jalan dan/atau alat pemberi isyarat
lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), *24182 mempunyai
kekuatan hukum setelah 30 hari sejak tanggal pemasangan.

(3)Jangka waktu 30 hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan
untuk memberikan informasi kepada pemakai jalan.

Pasal 32

Setiap orang dilarang menempelkan atau memasang sesuatu menyerupai,
menambah atau mengurangi arti dari rambu-rambu, marka jalan, dan alat
pemberi isyarat lalu lintas.

Pasal 33

Alat pemberi isyarat lalu lintas yang merupakan perintah harus
didahulukan dari rambu-rambu dan/atau marka jalan.

Pasal 34

(1)Dalam keadaan tertentu petugas Pilisi Negara Republik Indonesia
dapat melakukan tindakan : a.memberhentikan arus lalu lintas dan/atau
pemakai jalan tertentu; b.memerintahkan pemakai jalan untuk jalan
terus; c.mempercepat arus lalu lintas; d.memperlambat arus lalu
lintas; e.mengubah arah arus lalu lintas.

(2)Pemakai jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas
Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)Perintah yang diberikan oleh petugas Polisi Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib didahulukan dari
pada perintah yang diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas,
rambu-rambu dan/atau marka jalan.

(4)Ketentuan-ketentuan mengenai isyarat perintah yang diberikan oleh
petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pendapat Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

Bagian Kelima Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan

Pasal 35

(1)Alat pengendali pemakai jalan yang digunakan untuk pengendalian
atau pembatasan terhadap kecepatan, ukuran muatan kendaraan pada
ruas-ruas jalan tertentu terdiri dari:

a.alat pembatas kecepatan; b.alat pembatas tinggi dan lebar.

(2)Alat pengaman pemakai jalan yang digunakan untuk pengamanan
terhadap pemakai jalan terdiri dari : a.pagar pengaman; *24183
b.cermin tikungan; c.delinator; d.pulau-pulau lalu lintas; e.pita
penggaduh.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, warna, persyaratan, tata
cara, penggunaan, penempatan dan pencabutan alat pengendali dan alat
pengaman pemakai jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Keenam Alat Pengawasan dan Pengamanan Jalan

Pasal 36

(1)Alat pengawasan dan pengamanan jalan berfungsi untuk melakukan
pengawasan terhadap berat kendaraan beserta muatannya.

(2)Alat pengawasan dan pengamanan jalan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 91) berupa alat penimbangan yang dapat dipasang secara tetap atau
alat timbang yang dapat dipindah-pindahkan.

Pasal 37

Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (2) dilengkapi dengan fasilitas penunjang dan
dioperasikan oleh pelaksana penimbang.

Pasal 38

(1)Penyelenggaraan penimbangan meliputi : a. penentuan lokasi;
b.pengadaan, pemasangan dan/atau pembangunan; c. pengoperasian; d.
pemeliharaan;

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penimbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh Fasilitas Pendukung

Pasal 39

(1)Fasilitas pendukung meliputi fasilitas pejalan kaki, parkir pada
badan jalan, halte, tempat istirahat, dan penerangan jalan.

(2)Fasilitas pejalan jali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri
dari: a.trotoar; b.tempat penyeberangan yang dinyatakan dengan marka
jalan dan/atau rambu-rambu; c.jembatan penyeberangan; d.terowongan
penyeberangan.

*24184 (3)Penetapan lokasi, pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan
fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
oleh Menteri.

(4)Penetapan lokasi, pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan
fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang berada
di jalan tol dilakukan oleh penyelenggara jalan tol.

(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis fasilitas
pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan
Menteri.

BAB VI TERMINAL

Pasal 40

(1)Terminal terdiri dari: a.terminal penumpang; b.terminal barang.

(2)Terminal penumpang merupakan prasarana transportasi jalan untuk
keperluan menurunkan dan menaikkan penumpang, perpindahan intra
dan/atau antar moda transportasi serta mengatur kedatangan dan
pemberangkatan kendaraan umum.

(3)Terminal barang merupakan prasarana transportasi jalan untuk
keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intra
dan/atau antar modal transportasi.

Pasal 41

Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2),
dikelompokkan menjadi:

a.Terminal Penumpang Tipe A, berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan antar kota antar propinsi, dan/atau angkutan lintas batas
negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota, dan
angkutan pedesaan;

b.Terminal Penumpang Tipe B, berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota, dan/atau angkutan
pedesaan;

c.Terminal Penumpang Tipe C, berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan pedesaan.

Pasal 42

(1)Penentuan lokasi terminal dilakukan dengan mempertimbangkan rencana
umum jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(2)Pembangunan terminal pada lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan mempertimbangkan : a.rencana umum tata ruang;
b.kapasitas jalan; c.kepadatan lalu lintas; d.keterpaduan dengan koda
transportasi lain; *24185 e.kelestarian lingkungan.

(3)Penentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tipe
terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.

(4)Penyelenggaraan terminal yang meliputi pengelolaan, pemeliharaan
dan penertiban terminal dilakukan oleh Menteri.

Pasal 43

(1)Terhadap penggunaan jasa pelayanan terminal dapat dikenakan
pungutan.

(2)Jasa terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a.jasa
tempat bongkar muat barang dan/atau naik turun penumpang yang
dinikmati oleh pengusaha angkutan;

b.fasilitas parkir kendaraan umum menunggu waktu keberangkatan yang
dinikmati oleh pengusaha angkutan;

c.fasilitas parkir untuk umum selain tersebut dalam huruf a, yang
dinikmati oleh pengguna jasa.

(3)Tata cara pemungutan, besarnya pungutan serta penggunaan hasil
pungutan terminal ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah
mendengar pendapat Menteri Dalam Negeri dan mendapat persetujuan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan negara.

Pasal 44

(1)Kegiatan usaha penunjang pada terminal dilakukan oleh badan hukum
Indonesia atau warga negara Indonesia setelah mendapat persetujuan
penyelenggara terminal.

(2)Usaha penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi terminal.

Pasal 45

Penyelenggaraan terminal melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha
penunjang.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, pembangunan dan
penyelenggaraan terminal serta usaha penunjang pada terminal diatur
dengan Keputusan Menteri.

BAB VII FASILITAS PARKIR UNTUK UMUM

Pasal 47

(1)Fasilitas parkir untuk umum di luar badan jalan dapat berupa taman
parkir dan/atau gedung parkir. *24186 (2)Penetapan lokasi fasilitas
parkir untuk umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
Menteri.

(3)Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan :
a.rencana umum tata ruang daerah; b.keselamatan dan kelancaran lalu
lintas; c.kelestarian lingkungan; d.kemudahan bagi pengguna jasa.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lokasi, pembangunan dan
persyaratan teknis fasilitas parkir untuk umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 48

Penyelenggaraan fasilitas parkir untuk umum dilakukan oleh :
a.pemerintah;
b.badan hukum Indonesia;
c.warga negara Indonesia.

Pasal 49

(1)Penyelenggaraan fasilitas parkir yang dilaksanakan oleh badan hukum
Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 huruf b dan huruf c, harus dengan izin.

(2)Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri.

Pasal 50

(1)Penyelenggara fasilitas parkir untuk umum dapat memungut biaya
terhadap penggunaan fasilitas yang diusahakan.

(2)Besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.

(3)Penyelenggara fasilitas parkir sebagaimana dimaksud dalam pasal 47,
wajib menjaga ketertiban, keamanan, kelancaran lalu lintas dan
kelestarian lingkungan.

BAB VIII TATA CARA BERLALU LINTAS

Bagian Pertama Penggunaan Jalur Jalan

Pasal 51

(1)Tata cara berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur
jalan sebelah kiri.

(2)Penggunaan jalan selain jalur sebelah kiri hanya dapat dilakukan
apabila :

*24187 a.pengemudi bermakusd akan melewati kendaraan didepannya;

b.ditunjuk atau ditetapkan oleh petugas yang berwenang, untuk
digunakan sebagai jalur kiri yang bersifat sementara.

Bagian Kedua Gerakan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor

Paragraf 1 Tata cara Melewati

Pasal 52

(1)Pengemudi yang akan melewati kendaraan lain harus mempunyai
pandangan bebas dan menjaga ruang yang cukup bagi kendaraan yang
dilewatinya.

(2)Pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengambil lajur atau
jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang dilewati.

(3)Dalam keadaan tertentu pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat mengambil lajur atau jalur jalan sebelah kiri dengan tetap
memperhatikan keselamatan lalu lintas.

(4)Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi :

a.lajur sebelah kanan atau lajur paling kanan dalam keadaan macet;
b.bermaksud akan belok kiri.

(5)Apabila kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan
mengambil lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pada saat yang bersamaan dilarang melewati
kendaraan tersebut.

Pasal 53

Pengemudi harus memperlambat kendaraannya apabila akan melewati:

a.kendaraan umum yang sedang berada pada tempat turun-naik penumpang;
b.kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang
ditunggangi, atau hewan yang digiring.

Pasal 54

(1)Pengemudi mobil bus sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan
dan/atau menaikkan akan sekolah wajib menyalakan tanda lampu berhenti
mobil bus sekolah.

(2)Pengemudi kendaraan yang berada di belakang mobil bus sekolah yang
sedang berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghentikan
kendaraannya.

Pasal 55

*24188 Pengemudi dilarang melewati :

a.kendaraan lain di persimpangan atau persilangan sebidang;
b.kendaraan lain yang s edang memberi kesempatan menyeberang kepada
pejalan kaki atau pengendara sepeda.

Pasal 56

Pengemudi yang akan dilewati kendaraan lain wajib :

a.memberikan ruang gerak yang cukup bagi kendaraan yang akan melewati;

b.memberi kesempatan atau menjaga kecepatan sehingga dapat melewati
dengan aman.

Paragraf 2 Tata Cara Berpapasan

Pasal 57

(1)Pengemudi yang berpapasan dengan kendaraan lain dari arah
berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara jelas,
harus memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah kanan kendaraan.

(2)Jika pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhalang oleh
suatu rintangan atau pemakai jalan lain di depannya, harus
mendahulukan kendaraan yang d atang dari arah berlawanan.

Pasal 58

Pada jalan tanjakan atau menurun yang tidak memungkinkan bagi
kendaraan untuk saling berpapasan, pengemudi kendaraan yang arahnya
turun harus memberi kesempatan jalan kepada kendaraan yang menanjak.

Paragraf 3 Tata Cara Membelok

Pasal 59

(1)Pengemudi yang akan membelok atau berbalik arah, harus mengamati
situasi lalu lintas di depan, samping dan belakang kendaraan dan
memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat lengannya.

(2)Pengemudi yang akan berpindah lajur atau bergerak ke samping, harus
mengamati situasi lalu lintas di depan, samping dan belakang kendaraan
serta memberikan isyarat.

(3)Pengemudi dapat langsung belok ke kiri pada setiap persimpangan
jalan, kecuali ditentukan lain oleh rambu-rambu atau alat pemberi
isyarat lalu lintas pengatur belok kiri.

Paragraf 4 Tata Cara Memperlambat Kendaraan *24189 Pasal 60

Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya, harus mengamati situasi
lalu lintas di samping dan belakang kendaraan serta memperlambat
kendataan dengan cara yang tidak membahayakan kendaraan lain.

Paragraf 5 Posisi Kendaraan di Jalan

Pasal 61

(1)Pada lajur yangmemiliki dua tau lebih lajur serah, kendaraan yang
berkecepatan lebih rendah daripada kendaraan lain harus mengambil
lajur sebelah kiri.

(2)Pada jalur searah yang terbagi atas dua atau lebih lajur, gerakan
perpindahan kendaraan ke lajur lain harus memperhatikan situasi
kendaraan di depan, samping dan belakang serta memberi isyarat dengan
lampu penunjuk arah.

(3)Pada jalur searah yang terbagi atas dua atau lebih lajur yang
dilengkapi rambu-rambu dan/atau marka petunjuk kecepatan masing-masing
lajur, maka kendaraan harus berada pada lajur sesuai kecepatnnya.

(4)Pada persimpangan yang dikendalikan dengan bundaran, gerakan
kendaraan harus memutar atau memutar sebagian bundaran searah jarum
jam, kecuali ditentukan lain yang dinyatakan dengan rambu-rambu
dan/atau marka jalan.

Paragraf 6 Jarak Antara Kendaraan

Pasal 62

Pengemudi pada waktu mengikuti atau berada di belakang kendaraan lain,
wajib menjaga jarak dengan kendaraan yang berada didepannya.

Paragraf 7 Hak Utama Pada Persimpangan dan Perlintasan Sebidang

Pasal 63

(1)Pada persimpangan sebidang yang ttidak dikendalikan dengan alat
pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi wajib memberikan hak utama
kepada :

a.kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah cagang
persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan dengan rambu-rambu atau
marka jalan;

b.kendaraan dari jalan utama apabila pengemudi tersebut datang dari
cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari pekarangan yang
berbatasan dengan jalan;

c.kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan *24190 sebelah
kirinya apabila cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih dan sama
besar;

d.kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kirinya di
persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus;

e.kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan yang lurus pada
persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.

(2)Apabila persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali lalu lintas
yang berbentuk bundaran, pengemudi harus memberikan hak utama kepada
kendaraan lain yang telah berada di seputar bundaran.

Pasal 64

Pada persilangan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan,
pengeudi harus:

a.mendahulukan kereta api;
b.memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi
rel.

Paragraf 8 Hak Utama Penggunaan Jalan Untuk Kelancaran Lalu Lintas

Pasal 65

(1)Pemakai jalan wajib mendahulukan sesuai urutan prioritas sebagai
berikut: a.kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
b.ambulans mengangkut orang sakit; c.kendaraan untuk memberik
pertolongan pada kecelakaan lalu lintas; d.kendaraan Kepala Negara
atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara; e.iring-iringan
pengantaran jenazah; f.konvoi, pawai atau kendaraan orang cacat;
g.kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau menyangkut
barang-barang khusus.

(2)Kendaraan yang mendapat prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dengan pengawalan petugas yang berwenang atau dilengkapi
dengan isyarat atau tanda-tanda lain.

(3)Petugas yang berwenang, melakukan pengamanan apabila mengetahuinya
adanya pemakai jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4)Perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat
lalu lintas tentang isyarat berhenti tidak diberlakukan kepada
kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a sampai dengan
huruf e.

Bagian ketiga Berhenti dan Parkir

*24191 Pasal 66

(1)Setiap jalan dapat dipergunakan sebagai tempat berhenti atau parkir
apabila tidak dilarang oleh rambu-rambu atau marka atau tanda-tanda
lain atau di tempat-tempat tertentu.

(2)Tempat-tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:
a.sekitar tempat penyeberangan pejalan kaki, atau tempat penyeberangan
sepeda yang telah ditentukan; b.pada jalur khusus pejalan kaki; c.pada
tikungan tertentu; d.di atas jembatan; e.pada tempat yang mendekati
perlintasan sebidang dan persimpangan; f.di muka pintu keluar masuk
pekarangan; g.pada tempat yang dapat menutupi rambu-rambu atau alat
pemberi isyarat lalu lintas; h.berdekatan dengan keran pemadam
kebakaran atau sumber air sejenis.

Pasal 67

(1)Setiap kendaraan bermotor atau kereta gandengan atau tempelan yang
berhenti atau parkir dalam keadaan darurat wajib memasang segitiga
pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya atau isyarat lainnya.

(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk
sepeda motor tanpa kereta samping.

Pasal 68

(1)Parkir kendaraan di jalan dilakukan secara sejajar atau membentuk
sudut menurut arah lalu lintas.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai parkir kendaraan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Keempat Penggunaan Komponen Pendukung dan perlengkapan
Kendaraan Bermotor

Pasal 69

Pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih dan penumpang yang
duduk di samping pengemudi wajib menggunakan sabuk keselamatan.

Pasal 70

Pengemudi dan penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraann
bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan
rumah-rumah, wajib menggunakan helm.
Bagian Kelima Peringatan dengan Bunyi dan Penggunaan Lampu *24192
Paragraf 1 Peringatan dengan Bunyi

Pasal 71

(1)Isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa klakson dapat digunakan
apabila : a.diperlukan untuk keselamatan lalu lintas; b.melewati
kendaraan bermotor lainnya.

(2)Isyarat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang
digunakan oleh pengemudi: a.pada tempat-tempat tertentu yang dinyakan
dengan rambu-rambu; b.apabila isyarat bunyi tersebut mengeluarkan
suara yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan laik jalan
kendaraan bermotor.

Pasal 72

Isyarat peringatan dengan bunyi yang berupa sirene hanya dapat
digunakan oleh:

a.kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas termasuk
kendaraan yang diperbantukan untuk keperluan pem,adam kebakaran;
b.ambulans yang sedang mengangkut orang sakit;
c.kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah;
d.kendaraan petugas penegak hukum tertentu yang sedang melaksanakan
tugas;
e.kendaraan petugas pengawal kendaraan Kepala Negara atau Pemerintah
Asing yang menjadi tamu negara.

Paragraf 2 Penggunaan Lampu

Pasal 73

(1)Pengemudi kendaraan bermotor waktu malam hari atau waktu lain dalam
keadaan gelap, wajib menyalakan lampu yang meliputi: a.lampu utama
dekat; b.lampu posisi depan dan posisi belakang; c.lampu tanda nomor
kendaraan; d.lampu batas yang diwajibkan bagi kendaraan bermotor
tertentu.

(2)Waktu malam hari atau waktu lain dalam keadaan gelap setia
kendaraan tidak bermotor harus menggunakan lampu yang diwajibkan.

Pasal 74

(1)Pengemudi kendaraan bermotor dilarang:

a.menyalakan lampu-lampu dan/atau menggunakan lampu selain yang telah
diwajibkan kecuali tidak membahayakan atau mengganggu pemakai jalan
lain; b.menyalakan lampu utama jauh pada waktu berpapasan *24193
dengan kendaraan lain; c.menyalakan lampu kabut pada waktu cuaca
terang; d.menutup lampu penunjuk arah, lampu mundur, lampu rem, lampu
isyarat peringatan bahaya dan lampu tanda berhenti untuk bus sekolah;
e.menyalakan lampu peringatan berwarna biru atau merah kecuali
pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.

(2)Pengemudi kendaraan bermotor wajib:

a.menjaga agar lampu kendaraannya tetap berfungsi dan tidak
menyilaukan pengemudi kendaraan lain; b.menyalakan lampu penunjuk arah
pada waktu akan membelok atau berbalik arah; c.menyalakan lampu tanda
berhenti bagi pengemudi bus sekolah, waktu menurunkan dan/atau
menaikkan penumpang; d.menyalakan lampu peringatan berwarna biru bagi
pengemudi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72. e.menyalakan
lampu peringatan berwarna kuning bagi pengemudi kendaraan bermotor
untuk penggunaan tertentu atau yang mengangkut barang tertentu.

Pasal 75

Dilarang menempatkan lampu atau alat yang dapat memantulkan atau
menyinarkan cahaya dipermukaan, ditepi atau di atas jalan yang
menyilaukan pengemudi atau menyerupai isyarat yang diberikan oleh alat
pemberi isyarat lalu lintas.

Bagian Keenam Penggiringan Hewan dan Penggunaan Kendaraan Tidak
Bermotor di Jalan

Pasal 76

(1)Pengemudi kendaraan tidak bermotor, orang yang menggiring atau
menunggang hewan di jalan, wajib menggunakan lajur paling kiri dari
jalur jalan.

(2)Pengemudi kendaraan tidak bermotor, dan orang yang menggiring hewan
pada waktu malam hari wajib memberikan isyarat sinar atau tanda
lainnya.

Pasal 77

(1)Pengemudi kendaraan tidak bermotor dilarang:

a.dengan sengaja membiarkan kendaraannya di tarik oleh kendaraan
bermotor dengan kecepatan yang dapat membahayakan keselamatan;
b.membawa atau menarik benda-benda yang dapat merintangi atau
membahayakan pemakai jalam lainnya; c.menggunakan jalur jalan
kendaraan bermotor, jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi
kendaraan tidak bermotor.

(2)Pengendara sepeda dilarang membawa penumpang kecuali *24194 apabila
sepeda tersebut telah diperlengkapi dengan tempat penumpang.

(3)Pengemudi gerobak dan kereta dorong yang berjalan beriringan harus
memberikan ruang yang cukup bagi kendaraan lain untuk melewatinya.

Pasal 78

Pengendara sepeda tunarungu harus menggunakan tanda pengenal yang
ditempatkan pada bagian depan dan belakang sepedanya.

Pasal 79

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menggiring hewan dan
penggunaan kendaraan tidak bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76, Pasal 77 dan Pasal 78 diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketujuh Kecepatan Maksimum dan/atau Minimum Kendaraan Bermotor

Pasal 80

Kecepatan maksimum yang diizinkan untuk kendaraan bermotor :

a.pada Jalan Kelas I, II dan III A dalam jarinngan jalan primer untuk
:

1)mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang serta sepeda motor
adalah 100 kilometer perjam; 2)kendaraan bermotor dengan kereta
gandengan atau tempelan adalah 80 kilometer per jam;

b.pada Jalan Kelas III B dalam jaringan jalan primer untuk mobiil
penumpang, mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan
bermotor dengan kereta gandengan atau kereta tempelan adalah 80
kilometer per jam;

c.pada Jalan Kelas III C dalam jaringan jalan primer untuk mobil
penumpang, mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan
bermotor dengan kereta gandengan atau kereta tempelan adalah 60
kilometer per jam;

d.pada Jalan Kelas II dan III A dalam jaringan jalan sekunder untuk :

1)mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang adalah 70 kilometer
perjam; 2)kendaraan bermotor dengan kereta gandengan atau tempelan
adalah 60 kilometer per jam;

e.pada Jalan Kelas III B dalam jaringan jalan sekunder untuk mobil
penumpang, mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan
bermotor dengan kereta gandengan atau kereta tempelan adalah 50
kilometer per jam;

f.pada Jalan Kelas III C dalam jaringan jalan sekunder untuk mobil
penumpang, mobil bus dan mobil barang tidak termasuk kendaraan
bermotor dengan kereta gandengan atau kereta *24195 tempelan adalah 40
kilometer per jam.

Pasal 81

(1)Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalau
lintas, dapat ditetapkan kecepatan maksimum yang lebih rendah dari
ketentuan kecepatan maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.

(2)Penetapan batas kecepatan maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan penetapan batas kecepatan minimum dilakukan dengan
memperhatikan karakteristik lalu lintas, kondisi jalan, dan kondisi
lingkungan.

(3)Batas kecepatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus
dinyatakan dengan rambu-rambu.

Pasal 82

(1)Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan lalu lintas dan angkutan
jalan, dapat ditetapkan kecepatan maksimum yang lebih tinggi dari
ketentuan kecepatan maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.

(2)Penetapan kecepatan maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lalu lintas, kondisi
jalan, teknologi kendaraan bermotor dan kondisi lingkungan.

(3)Batas kecepatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus
dinayatakan dengan rambu-rambu.

Pasal 83

Dalam keadaan tertentu ketentuan mengenai batas kecepatan maksimum
atau minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal
82 tidak berlaku.

Bagian Kedelapan Perilaku Pengemudi Terhadap Pejalan Kaki

Pasal 84

Pengemudi kendaraan bermotor wajib mengutamakan keselamatan pejalan
kaki:

a.yang berada pada bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki;
b.yang akan atau sedang menyeberang jalan.

Bagian Kesembilan Penetapan Muatan Sumbu Terberat Kurang dari Muatan
Sumbu Terberat yang Semula Diizinkan

Pasal 85

(1)Dalam keadaan tertentu dapat ditetapkan muatan sumbu terberat lebih
rendah dari yang diizinkan pada bagian jalan tertentu untuk jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan.

*24196 (2)Penetapan muatan sumbu terberat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), harus dinyatakan dengan rambu sementara.

(3)Muatan sumbu terberat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kesepuluh Larangan Penggunaan Jalan

Pasal 86

(1)Dilarang mengemudikan kendaraan bermotor melalui jalan yang
memiliki kelas jalan yang lebih rendah dari kelas jalan yang diizinkan
dilalui oleh kendaraan tersebut.

(2)Dilarang mengemudikan kendaraan bermotor barang tertentu yang
bermuatan di luar jaringan lintas yang telah ditetapkan.

Pasal 87

(1)Menteri dapat menetapkan larangan penggunaan jalan tertentu untuk
dilalui kendaraan.

(2)Larangan penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus dinyatakan dengan rambu-rambu sementara.

BAB IX PENGGUNAAN JALAN SELAIN UNTUK KEPENTINGAN LALU LINTAS

Pasal 88

(1)Penggunaan jalan untuk keperluan tertentu di luar fungsi sebagai
jalan dan penyelenggaraan kegiatan dengan menggunakan jalan, dapat
dilakukan pada jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan
kotamadya dan jalan desa.

(2)Penggunaan jalan nasional dan jalan propinsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan nasional.

(3)Penggunaan jalan kabupaten, kotamadya atau jalan desa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diizinkan untuk kepentingan umum yang
bersifat nasional dan/atau daerah serta kepentingan prinbadi.

Pasal 89

(1)Penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 yang
mengakibatkan penutupan jalan tersebut, dapat diizinkan apabila ada
jalan alternatif yang memiliki kelas jalan yang sekurang-kurangnya
sama dengan jalan yang ditutup.

(2)Pengalihan arus lalu lintas ke jalan alternatif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus dinyatakan denganrambu-rambu sementara.

(3)Apabila penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas tidak
sampai mengakibatkan penutupan jalan tersebut, *24197 pejabat yang
berwenang memberi izin menempatkan petugas yang berwenang pada ruas
jalan dimaksud untuk menjaga keselamatan dan kelancaran lalu lintas.

Pasal 90

(1)Izin penggunaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2)
dan ayat (3) diberikan oleh Menteri.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 91), diatur dengan
Keputusan Menteri.

BAB X PEJALAN KAKI

Pasal 91

(1)Pejalan kaki harus : a.berjalan pada bagian jalan yang
diperuntukkan bagi pejalan kaki, atau pada bagian jalan yang paling
kiri apabila tidak terdapat bagian jalan yang diperuntukkan bagi
pejalan kaki; b.mempergunakan bagian jalan yang paling kiri apabila
menodorng kereta dorong; c.menyeberang di tempat yang telah
ditentukan;

(2)Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, pejalan kaki dapat
menyeberang ditempat yang dipilihnya dengan memperhatikan keselamatan
dan kelancaran lalu lintas.

(3)Rombongan pejalan kaki di bawah pimpinan seseorang harus
mempergunakan lajur paling kiri menurut arah lalu lintas.

Pasal 92

(1)Pejalan kaki yang merupakan penderita cacad tuna netra wajib
mempergunakan tanda-tanda khusus yang mudah dikenali oleh pemakai
jalan lain.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda-tanda khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

BAB XI KECELAKAAN LALU LINTAS

Pasal 93

(1)Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak
disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau
tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau
kerugian harta benda.

(2)Korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat 91),
dapat berupa : a.korban mati; b.korban luka berat; *24198 c.korban
luka ringan.

(3)Korban mati sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah
korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas
dalam jangka waktu paling lama 30 (ttiga puluh) haru setelah
kecelakaan tersebut.

(4)Korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,
adalah korban yang karena luka-lukanya menderita cacad tetap atau
harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak
terjadi kecelakaan.

(5)Korban luka ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hruf c,
adalah korban yang tidak termasuk dalam pengertian ayat (3) dan ayat
(4).

Pasal 94

(1)Keterangan mengenai kejadian kecelakaan lalu lintas dicatat oleh
petugas Polisi Negara republik Indonsia dalam formulir laporan
kecelakaan lalu lintas.

(2)Dalam hal terjadai kecelakaan yang mengakibatkan korban mati
ditindaklanjuti dengan penelitian yang dilaksanakan selambat-lambatnya
3 (tiga) hari oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, instansi yang
bertanggung jawab di bidang instansi lalu lintas dan angkutan jalan,
dan instansi yang bertanggung jawab di bidang pembinaan jalan.

(3)Instansi yang diberi wewenang membuat laporan mengenai kecelakaan
lalu lintas menyelenggarakan sistem informasi.

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri setelah
berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pembinaan jalan.

BAB XII PEMINDAHAN KENDARAAN BERMOTOR

Pasal 95

(1)Petugas yang berwenang dapat melakukan pemindahan kendaraan
bermotor.

(2)Pemindahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan dalam hal :

a.kendaraan yang patut diduga terlibat dalam tindak kejahatan;
b.kendaraan bermotor mengalami kerusakan teknis dan berhenti atau
parkir pada tempat yang dilarang untuk berhenti dan/atau parkir;
c.kendaraan yang diparkir pada tempat yang dilarang untuk berhenti
dan/atau parkir; d.kendaraan yang parkir di jalan yang tidak diketahui
pemiliknya dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
*24199 Pasal 96

(1)Kendaraan yang mengalami kerusakan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (2) huruf b, dipindahkan ke tempat lain yang tidak
mengganggu kelancaran lalu lintas atas prakarsa pengemudi kendaraan
itu sendiri dengan atau tanpa bantuan petugas yang berwenang.

(2)Apabila setelah jangka waktu 15 (lima belas) menit sejak kendaraan
berhenti atau parkir, pengemudi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak memindahkan kendaraannya, pemindahan kendaraan
dilakukan oleh petugas yang berwenang.

Pasal 97

(1)Pemindahan kendaraan yang diparkir pada tempat yang dilarang untuk
berhenti dan/atau parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
huruf c, dilakukan oleh petugas yang berwenang setelah jangka waktu 15
(lima belas) menit pengemudi dan/atau pemilik kendaraan tersebut tidak
berhasil diketemukan oleh petugas yang berwenang.

(2)Apabila pengemudi dan/atau pemilik kendaraan diketemukan oleh
petugas yang berwenang sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilampaui, kendaraan tidak boleh dipindahkan oleh petugas.

(3)Pemindahan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
ketempat lain yang tidak menggangu keselamatan dan kelancaran lalu
lintas atau ketempat yang ditentukan oleh petugas yang berwenang.

(4)Dalam melakukan pemindahan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), petugas yang berwenang harus : a.menggunakan mobil derek;
b.bertanggung jawab atas kelengkapan dan keutuhan kendaraan beserta
muatannya; c.membuat berita acara pemindahan kendaraan bermotor;
d.memberitahukan kepada pemilik atau pemegang kendaraan bermotor.

Pasal 98

(1)pemindahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95,
dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang ditunjuk.

(2)Pemindahan kendaraan bermotor di jalan Tol, dilaksanakan oleh
penyelenggara jalan tol.

Pasal 99

(1)Pemindahan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)
huruf b, huruf c, dan huruf d, dapat dipungut biaya.

(2)Besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri. *24200 BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 100

Kewajiban pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih dan
penumpang yang duduk di samping pengemudi untuk menggunakan sabuk
keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, mulai berlaku pada
tanggal 17 September 1998.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 101

Pada tanggal mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan
Pemerintah, yang mengatur mengenai prasarana dan lalu lintas jalan
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 102

(1)Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan yangmengatur
penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II
dinyatakan tetap berlaku.

(2)Urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah ditindaklanjuti dengan
penyerahan secara nyata, tetap dilaksanakan oleh Daerah Tingkat I atau
Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Pasal 103

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1993.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan pemerintah ini dengan penempatnnya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juli 1993 PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Juli 1993 MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*24201 ttd.

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN
1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN

UMUM

Lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peranan yang sangat penting
dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh Negara, dan
pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan
lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar,
tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan transportasi
lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang
pemarataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak
dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh
daya beli masyarakat.

Pembinaan di bidang lalu lintas jalan yang meliputi aspek-aspek
pengaturan, pengendalian dan pengawasan lalu lintas harus ditujukan
untuk keselamatan, keamanan, ketertiban,kelancaran lalu lintas.
Disamping itu, dalam melakukan pembinaan lalu lintas jalan juga harus
diperhatikan aspek kepentingan umum atau masyarakat pemakai jalan,
kelestarian lingkungan, tata ruang, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, hubungan internasional serta koordinasi antar wewenang
pembinaan lalu lintas jalan di tingkat pusat dan daerah serta antar
instansi, sektor dan unsur terkait lainnya.

Dalam rangka pembinaan lalu lintas jalan sebagaimana tersebut di atas,
diperlukan penetapan aturan-aturan umum yang bersifat seragam dan
berlaku secara nasional serta denganmengingat ketentuan-ketentuan lalu
lintas yang berlaku secara internasional.

Disamping itu, untuk dapat lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna
dalam penggunaan dan pemanfaatan jalan, diperlukan pula adanya
ketentuan-ketentuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan
kegiatan-kegaitan perencanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian
lalu lintas dan juga dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perencanaan,
pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan di
seluruh jaringan jalan primer dan sekunder yang ada di tanah air baik
yang merupakan Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten, Jalan
Kotamadya, maupun Jalan Desa.

Untuk kepentingan baik Pemerintah maupun masyarakat, maka dalam
Peraturan Pemerintah ini diatur ketentuan-ketentuan mengenai prasarana
lalu lintas dan angkutan jalan yang meliputi antara lain jaringan
transportasi jalan, kelas-kelas jalan, jaringan trayek, jaringan
lintas angkutan barang, terminal penumpang dan barang fasilitas
pejalan kaki, fasilitas penyeberangan orang, fasilitas parkir,
rambu-rambu, marka jalan, alat pemberi isyarat *24202 lalu lintas,
dimana kesemuanya itu merupakan unsur penting dalam menyelenggarakan
lalu lintas dan angkutan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna
serta dalam rangka memberikan perlindungan keselamatan, keamanan,
kemudian serta kenyamanan bagi para pemakai jalan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 Jalur sebagaimana dalam ketentuan ini dapat berupa jalur satu
arah atau jalur dua arah.

Angka 2 Cukup jelas

Angka 3 Cukup jelas

Angka 4 Cukup jelas

Angka 5

Kendaraan tidak bermotor antara lain dapat berupa sepeda, gerobak,
becak, kereta dorong, dan kereta kuda.

Angka 6 Termasuk dalam pengertian persimpangan adalah pertigaan
(simpang tiga), perempatan (simpang empat), perlimaan (simpang lima),
persimpangan bentuk bundaran, dan persimpangan tidak sebidang, namun
tidak termasuk persilangan sebidang dengan rel kereta api.

Angka 7 Termasuk dalam pengertian berhenti antara lain berhenti untuk
sementara waktu yang dimaksudkan untuk kepentingan menaikkan dan/atau
menurunkan orang dan/atau barang, berhenti di persimpangan pada saat
pemberi isyarat lalu lintas menunjukkan cahaya warna merah, dan
berhenti di depat tempat penyeberangan.

Angka 8 Termasuk dalam pengertian parkir adalah setiap kendaraan yang
berhenti pada tempat-tempat tertentu baik yang dinyatakan dengan rambu
ataupun tidak, serta tidak semata-mata untuk kepentingan menaikkan
dan/atau menurunkan orang dan/atau barang.

Angka 9 Cukup jelas

Angka 10 Yang dimaksud dengan oran yang langsung mengawasi adalah
orang yang berada pada kendaraan dan *24203 mengawasi calon pengemudi
yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor.

Angka 11 Yang dimaksud dengan hak utama adalah hak untuk didahulukan
yang harus diberikan kepada pemakai jalan tertentu sehubungan dengan
kepentingan dari pemakai jalan tersebut antara lain mobil pemadam
kebakaran yang sedang bertugas, mobil ambulans yang sedang bertugas,
konvoi militer.

Angka 12 Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Manajemen lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)bertujuan untuk keselamatan, keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, dan dilakukan antara lain
dengan :

a.usaha peningkatan kapasitas ruas jalan, persimpangan, dan/atau
jaringan jalan; b.pemberian prioritas bagi jenis kendaraan atau
pemakai jalan tertentu; c.penyesuaian antara permintaan perjalanan
dengan tingkat pelayanan tertentu dengan mempertimbangkan keterpaduan
intra dan antar moda; d.penetapan sirkulasi lalu lintas, larangan
dan/atau perintah bagi pemakai jalan.

Ayat (2) Huruf a Maksud inventarisasi dalam ketentuan ini antara lain
untuk mengetahui tingkat pelayanan pada setiap ruas jalan dan
persimpangan. Maksud tingkat pelayanan dalam ketentuan ini adalah
merupakan kemampuan ruas jalan dan persimpangan untuk menampung lalu
lintas dengan tetap memperhatikan faktor kecepatan dan keselamatan.

Huruf b Dalam menentukan tingkat pelayanan yang diinginkan dilakukan
antara lain dengan memperhatikan : 1)rencana umum jaringan
transpoortasi jalan; 2)peranan, kapasitas, dan karakteristik jalan;
3)kelas jalan; 4)karakteristik lalu lintas; 5)aspek lingkungan;
6)aspek sosial dan ekonomi.

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Maksud rencana dan program perwujudan dalam ketentuan ini
antara lain meliputi :

1)penentuan tingkat pelayanan yang diinginkan pada *24204 setiap ruas
jalan dan persimpangan;

2)usulan aturan-aturan lalu lintas yang akan ditetapkan pada setiap
ruas jalan dan persimpangan;

3)usulan pengadaan dan pemasangan serta pemeliharaan rambu-rambu lalu
lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, dan alat
pengendali dan pengaman pemakai jalan;

4)usulan kegiatan atau tindakan baik untuk keperluan penyusunan usulan
sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan 3) maupun penyuluhan kepada
masyarakat.

Ayat (3) termasuk dalam pengertian penetapan kebijaksanaan lalu lintas
dalam ketentuan ini antara lain penataan sirkulasi lalu lintas,
penentuan kecepatan maksimum dan/atau minimum, larangan penggunaan
jalan, larangan dan/atau perintah bagi pemakai jalan.

Ayat (2)

Huruf a Kegiatan pemantauan dan penilaian dimaksudkan untuk mengetahui
efektifitas dari kebijaksanaan-kebijaksanaaan tersebut untuk mendukung
pencapaian tingkat pelayanan yang telah ditentukan. Termasuk dalam
kegiatan pemanatauan antara lain meliputi inventarisasi mengenai
kebijaksanaan-kebijaksanaan lalu lintas yang berlaku pada ruas jalan,
jumlah pelanggaran dan tindakan-tindakan koreksi yang telah dilakukan
atas pelanggaran tersebut. Termasuk dalam kegiatan penilaian antara
lain meliputi penentuan kriteria penilaian, analisis tingkat
pelayanan, analisis pelanggaran dan usulan tindakan perbaikan.

Huruf b Tindakan korektif dimaksudkan untuk menjamin tercapainya
sasaran tingkat pelayanan yang telah ditentukan. Termasuk dalam
tindakan korektif adalah peninjauan ulang terhadap kebijaksanaan
apabila di dalam pelaksanaannya menimbulkan masalah yang tidak
diinginkan.

Ayat (5) Huruf a Pemberian arahan dan petunjuk dalam ketentuan ini
berupa penetapan atau pemberian pedoman dan tata cara untuk keperluan
pelaksanaan manajemen lalu lintas, dengan maksud agar diperoleh
keseragaman dalam pelaksanaannya serta dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya untuk menjamin tercapainya tingkat pelayanan yang telah
ditetapkan. *24205 Huruf b Cukup jelas

Pasal 3

Ketentuan ini dimaksudkan agar pengaturan yang bersifat perintah atau
larangan dapat diketahui oleh masyarakat sebagaimana pemakai jalan dan
menjamin kepastian hukum.

Pasal 4

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat
(4) Cukup jelas Ayat (5) Sistem informasi mengenai rambu-rambu lalu
lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat
pengendali dan pengaman pemakai jalan diperlukan agar pelaksanaan
rekayasa lalu lintas dapat dilakukan secara berhasil guna dan berdaya
guna.

Pasal 5

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pembina jalan sebagaimana dimaksud
adalah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980
tentang Jalan. Ayat (3) Instansi terkait dimaksud baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.

Pasal 6

Ayat (1) Untuk menjamin perwujudan lalu lintas dan angkutan jalan yang
terpadu dengan moda transportasi lain, ditetapkan Rencana Umum
Jaringan Transportasi Jalan yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Rencana Umum Transportasi Jalan, karena didalamnya
sudah termasuk unsur-unsur pokok prasarana seluruh moda transportasi.
Penetapan Jaringan Transportasi Jalan memperhatikan Rencana Umum Tata
Ruang dan penetapannya juga memperhatikan pendapat-pendapat dari
instansi terkait.

Ayat (2) Huruf a Pengertian Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan
Primer adalah gambaran keadaan jaringan transportasi jalan yang ingin
diwujudkan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan
jalan antar kota, lintas batas negara yang terpadu baik intra maupun
antar moda transportasi.

*24206 Huruf b Pengertian Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan
Sekunder adalah gambaran keadaan jaringan transportasi jalan yang
ingin diwujudkan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan
angkutan jalan lokal baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan yang
terpadu baik intra maupun antar moda transportasi.

Ayat (3) Huruf a Rencana lokasi ruang kegiatan dilengkapi dengan
perkiraan bangkitan perjalanan baik orang maupun barang sesuai dengan
karakteristik ruang kegiatan masing-masing yang diperlukan sebagai
masukan dalam memproyeksikan perkiraaan perpindahan orang da/atau
barang di masa mendatang.

Huruf b Perkiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal dan
tujuan perjalanan dapat diperoleh dari analisis data primer menurut
hasil survai asal dan tujuan serta data sekunder yangdibutuhkan untuk
diproyeksikan dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun
mendatang. Perkiraan tersebut digunakan sebagai masukan utama dalam
merumuskan arah dan kebijaksanaan menentukan peranan masing-masing
moda transportasi.

Huruf c Arah dan kebijaksanaan peranan transportasi di jalan harus
terkait dengan moda transportasi lainnya dalam satu kesatuan sistem
transportasi.

Huruf d Rencana kebutuhan lokasi simpul yangberupa terminal
transportasi jalan disusun berdasarkan perkiraan beban yang harus
ditampung oleh terminal tersebut, keterpaduan intra dan antar moda
transportasi serta efisiensi angkutan.

Huruf e Rencana kebutuhan ruang lalu lintas disusun berdasarkan
kebutuhan untuk menampung beban lalu lintas pada jaringan jalan dan
lintas penyeberangan pada masa mendatang secata efisiensi.

Pasal 8

Ayat (1) Pengertian kebutuhan transportasi adalah kebutuhan
perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan,
pilihan moda dan mutu pelayanan yang diinginkan sesuai dengan
kebutuhan penggunaan jasa. Yang dimaksud dengan fungsi adalah kegiatan
menghubungkan simpul dan ruang kegiatan menurut kepentingannya yang
meliputi kepentingan lalu lintas dan kepentingan angkutan. Yang
dimaksud dengan peranan adalah tingkat hubungan antar simpul dan ruang
kegiatan menurut fungsinya, yang dikelompokkan dalam jaringan antar
kota, kota dan *24207 pedesaan menurut hierarkhinya masing-masing.
Yang dimaksud dengan kapasitas lalu lintas adalah volume lalu lintas
dikaitkan dengan jenis, ukuran, daya angkut dan kecepatan kendaraan.
Yang dimaksud dengan kelan jalan adalah klasifikasi jalan berdasarkan
muatan sumbu terberat (MST) dan karakteristik lalu lintas.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1) Buku jalan antara lain memuat kode ruas jalan, panjang ruas
jalan, kelas jalan, dan karakteristik jalan. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1) Mobil barang tertentu antara lain mobil pengangkut peti emas,
mobil pengangkut bahan berbahaya atau mobil pengangkut alat berat.
*24208 Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1) Rambu-rambu merupakan bagian dari perlengkapan jalan, berupa
lambang, huruf, angka, kalimat dan atau perpaduan diantaranya sebagai
peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai jalan. Ayat
(2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)
Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar penempatan rambu-rambu lalu
lintas dapat menjamin kepastian hukum bagi pengguna jalan. Lokasi
penempatan rambu-rambu tersebut merupakan hasil manajemen dan rekayasa
lalu lintas.

Ayat (2) Rambu sementara adalah rambu keempat jenis rambu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yang digunakan secara tidak permanen,
pada keadaan darurat atau pada kegiatan-kegiatan tertentu, antara lain
kecelakaan lalu lintas, kebakaran, uji coba pengaturan lalu lintas,
survai lalu lintas, dan perbaikan jalan atau jembatan.

Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1) Marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan
atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang
membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang
lainnya yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan
membatasi daerah kepentingan lalu lintas.

Ayat (2) Huruf a Marka membujur adalah tanda yang sejajar dengan sumbu
jalan. Marka membujur yang dihubungkan dengan garis melintang
yangdipergunakan untuk membatasi ruang parkir pada jalur kendaraan,
tidak dianggap sebagai marka jalan membujur.

*24209 Huruf b Marka melintang adalah tanda yang tegak lurus terhadap
sumbu jalan.

Huruf c Marka serong adalah tanda yang membentuk garis utuh yang tidak
termasuk dalam pengertian marka membujur atau marka melintang, untuk
menyatakan suatu daerah permukaan jalan yang bukan merupakan jalur
lalu lintas kendaraan.

Huruf d Marka lambang adalah tanda yang mengandung arti tertentu untuk
menyatakan peringatan, perintah dan larangan untuk melengkapi atau
menegaskan maksud yang telah disampaikan oleh rambu atau tanda lalu
lintas lainnya.

Huruf e Marka lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah tanda yang
merupakan kombinasi dari marka membujur, marka melintang, marka
serong, dan marka lambang sehingga membentuk arti tertentu.

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1) Marka dengan garis utuh yang membujur berfungsi untuk pemisah
jalur atau lajur jalan yang tidak boleh dilintasi oleh kendaraan jenis
apapun.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Marka dengan garis putus-putus yang membujur berfungsi untuk
pemisah jalur atau lajur jalan yang boleh dilintasi kendaraan apabila
akan melewati kendaraan lain yang berada di depannya.

Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a *24210 Cukup jelas Huruf b Yang
dimaksud dengan pulau lalu lintas adalah bagian jalan yang tidak dapat
dilalui oleh kendaraan, dapat berupa tanda permukaan jalan atau bagian
jalan yang ditinggikan.

Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 26

Garis-garis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat berupa
garis utuh atau garis putus-putus. Untuk menyatakan garis utuh dapat
dipasang paku jalan atau kerucut lalu lintas dengan jarak tertentu,
dan dihubungkan dengan garis marka jalan, sehingga menyatakan garis
utuh. Untuk menyatakan garis putus-putus dapat dipasang paku jalan
atau kerucut lalu lintas dengan jarak tertentu, sehingga menyatakan
garis putus-putus.

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1) Alat pemberi isyarat lalu lintas adalah perangkat peralatan
teknis yang menggunakan isyarat lampu untuk mengatur lalu lintas orang
dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan. Ayat (2) Alat
pemberi isyarat dengan lampu tiga warna apabila disusun dari atas ke
bawah menurut urutan merah-kuning-hijau, sedangkan apabila disusun
secara horizontal maka lampu disusun dari kanan ke kiri menurut urutan
merah-kuning-hijau. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1) Apabila satu cahaya berwarna merah kelap-kelip atau dua
cahaya merah kelap-kelip secara berseling, berarti *24211 bahwa
kendaraan dilarang melewati garis berhenti atau dilarang melewati
batas garis isyarat. Cahaya berwarna merah tersebut dipergunakan
misalnya pada persilangan sebidang dengan kereta api.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Apabila satu cahaya berwarna merah kelap-kelip atau dua
cahaya berwarna kuning kelap-kelip secara bergantian berarti bahwa
pengemudi boleh jalan terus tetapi harus dengan hati-hati.

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini
dimaksudkan agar setiap pemakai jalan mengetahui keberadaan dari
rambu-rambu lalu lintas, marka jalan dan/atau alat pemberi isyarat
lalu lintas yang baru dipasang tersebut.

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerancuan
apabila pada 1 (satu) lokasi yang sama terdapat alat pemberi isyarat
lalu lintas, rambu-rambu dan/atau marka jalan yang bersifat perintah
atau larangan, sehingga ditetapkan urutan prioritasnya. Dalam hal
demikian yang memiliki kekuatan hukum mengikat adalah perintah yang
diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas.

Pasal 34

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat
(4) Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1) Huruf a Alat pembatas kecepatan adalah kelengkapan tambahan
pada jalan berfungsi untuk membuat pengemudi kendaraan bermotor
mengurangi kecepatan kendaraan-kendaraannya. Kelengkapan tambahan
tersebut antara lain berupa peninggian sebagian badan jalan yang
melintang terhadap sumbu jalan dengan lebar, tinggi dan kelandaian
tertentu. *24212 Huruf b Alat pembatas tinggi dan lebar adalah
kelengkapan tambahan pada jalan yang berfungsi untuk membatasi tinggi
dan lebar kendaraan beserta muatannya memasuki suatu ruas jalan
tertentu. Kelangkapan tambahan dimaksud berupa portal.

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Delinator
atau potok tanda tikungan adalah suatu unit konstruksi yang diberi
tanda yang dapat memantulkan cahaya (reflektif) dan berfungsi sebagai
pengarah dan sebagai peringatan bagi pengemudi pada waktu malam hari,
bahwa di sisi kiri atau kanan delinator adalah daerah berbahaya. Huruf
d Cukup jelas Huruf e Pita penggaduh adalah kelengkapan tambahan pada
jalan yang berfungsi untuk membuat pengemudi kendaraan bermotor lebih
meningkatkan kewaspadaan.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1) Untuk pengawasan dan pengamanan prasarana dan sarana lalu
lintas dan angkutan jalan digunakan alat penimbangan yang dapat
menimbang kendaraan bermotor sehingga dapat diketahui berat kendaraan
beserta mutannya.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 37

Fasilitas penunjang dimaksud antara lain berupa gedung operasional,
lapangan parkir untuk bongkar muat barang, fasilitas jalan keluar
masuk dan gudang penyimpanan barang.

Pasal 38

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1) Fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
adalah fasilitas yang disediakan untuk mendukung kegiatan lalu lintas
dan angkutan jalan baik yang berada di bdan jalan maupun yang berada
di luar *24213 badan jalan, dalam rangka keselamatan, keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta memberikan kemudahan bagi
pemakai jalan.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa
peenyediaan fasilitas pendukung merupakan tanggung jawab Pemerintah
yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan keselamatan
pejalan kaki dan pemakai jalan lainnya.

Ayat (4) Cukup jelas

Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 40

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Kepadatan lalu lintas adalah berkenaan dengan pergerakan di
dalam terminal itu sendiri baik pergerakan orang, kendaraan atau
barang, dan pengaruhnya terhadap lalu lintas di lingkungan luar
terminal.

Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas *24214 Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1) Pungutan dimaksud merupakan pembayaran atas penggunaan jasa
terminal yang dinikmati oleh pengusaha angkutan, penumpang, pengantar,
pengemudi dan pengguna jasa lainnya.

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Ayat (1) Yang dimaksud dengan di luar badan jalan antara lain pada
kawasan-kawasan tertentu seperti pusat-pusat perbelanjaan, bisnis
maupun perkantoran yang menyediakan fasilitas parkir untuk umum.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Keberadaan fasilitas parkir untuk
umum berupa gedung parkir atau taman parkir harus menunjang
keselamatan dan kelancaran lalu lintas, sehingga penetapan lokasinya
terutama menyangkut akses keluar masuk fasilitas parkir harus
dirancang agar tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

*24215 Pasal 49 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar fasilitas
parkir untuk umum yang disediakan memenuhi persyaratan keselamatan dan
menjamin kelancaran lalu lintas.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 50

Ayat (1) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah untuk
penggunaan fasilitas parkir di luar badan jalan.

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penggunaan
jalur jalan sebelah kanan yang bersifat sementara dimungkinkan
misalnya dalam hal-hal : 1)jalur jalan sebelah kiri telah padat untuk
jurusannya, sehingga menggunakan lajur pada jalur jalan sebelah kanan;

2)sebagian lajur jalan pada jalur jalan sebelah kiri jalan sedang
dalam perbaikan/pemeliharaan jalan;

Pasal 52

Ayat (1) Melewati adalah gerakan kendaraan untuk maksud mengambil
ruangan yang berada disebelah kanan kendaraan di depannya, dan pada
waktu akan melewati pengemudi kendaraan harus menjaga jarak yang cukup
bebas agar tidak mengakibatkan benturan dengan kendaraan yang akan
dilewati. Setelah melewati harus segera mengambil posisi pada lajur
atau bagian dari lajur paling kiri dengan cara tidak menghalangi atau
menimbulkan bahaya bagi pengemudi kendraan yang dilewatinya. Pada
jalur kendaraan dengan paling sedikit dua lajur yang disediakan untuk
lalu lintas satu jurusan, dan kepadatan lalu lintas sedemikian,
sehingga arus lalu lintas kendaraan bukan saja memerlukan seluruh
lebar jalan kendaraan, tetapi kendaraannyapun bergerak hanya dengan
kecepatan yang ditentukan oleh kecepatan kendaraan di depannya dalam
barisan, maka gerakan kendaraan dalam satu barisan yang lebih cepat
dari kendaraan dalam barisan lain, tidak dianggap sebagai melewati.

*24216 Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 53

Cukup jelas

Pasal 54

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57

Ayat (1) Berpapasan adalah bertemunya kendaraan dengan kendaraan yang
datang dari arah yang berlawanan yang tidak satu lajur.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 58

Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1) Membelok yaitu gerakan kendaraan untuk maksud keluar dari
atau memasuki deretan kendaraan yang sedang diparkir, beralih ke kanan
atau ke kiri jalan kendaraan, atau membelok ke kiri atau ke kanan
memasuki jalan lain atau pekarangan yang berbatasan dengan jalan.
Pengemudi yang bermaksud untuk melakukan gerakan membelok harus
terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang dapat menjamin keselamatan
dan ketertiban lalu lintas jalan, antara lain : a.jika akan membelok
kekiri harus terlebih dahulu menempatkan posisi kendaraannya pada
lajur atau bagian paling kiri lajur jalan;

b.jika bermaksud untuk membelok kekanan pada jalur kendaraan yang
terdiri dari dua tau lebih lajur untuk lalu lintas satu arah maupun
lalu lintas dua arah, maka harus terlebih dahulu menempatkan posisi
kendarannya pada lajur sebelah kanan atau pada bagian tengah lajur
dengan cara yang tidak merintangi atau membahayakan keselamatan
pemakai jalan lainnya. *24217 Tindakan mengamati dapat dilakukan
dengan cara menoleh dan/atau dengan mempergunakan kaca spion yang ada
pada kendaraannya. Bagi pengemudi kendaraan bermotor gerakan mengubah
arah harus terlebih dahulu memberikan isyarat lampu penunjuk arah.
Peringatan dengan alat penunjuk arah harus diberikan terus menerus
selama berlangsungnya gerakan itu dan segera diberhentikan setelah
gerakan itu selesai. Sedangkan bagi pengemudi kendaraan tidak bermotor
hal tersebut dilakukan dengan mempergunakan alat atau lengannya.

Ayat (2) Cukkup jelas

Ayat (3) Alat pemberi isyarat lalu lintas pengatur belok kiri adalah
alat pemberi isyarat lalu lintas yang menunjukkan arah yang wajib
dipatuhi oleh pengemudi kendaraan yang bermaksud belok kiri.

Pasal 60

Memperlambat kendaraan yaitu gerakan kendaraan dengan mengurangi
kecepatan kendaraan. Gerakan tersebut tidak dilakukan dengan
tiba-tiba, kecuali oleh karena keadaan yang memaksa untuk keselamatan.
Bagi pengemudi kendaraan bermotor pada waktu memperlambat kendaraan
harus dengan memberikan isyarat lampu rem yang ada pada kendaraannya.
Bagi pengemudi kendaraan tidak bermotor hal tersebut dapat dilakukan
dengan mempergunakan alat atau lengannya.

Pasal 61

Ayat (1) Posisi kendaraan di jalan yaitu kendaraan dimana kendaraan
dimaksud tetap berada pada kedudukan lajur peruntukkannya. Kendaraan
yang berjalan lambat harus mengambil lajur jalan sebelah kiri menurut
arah kendaraannya, sehingga memungkinkan kendaraan lain untuk
melewatinya dan tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.
Kewajiban mengambil lajur jalan sebelah kiri dimaksudkan untuk memberi
kesempatan bagi pengemudi kendaraan lain yang memiliki kecepatan lebih
tinggi untuk melewatinya.

Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan agar gerakan perpindahan kenaraan
ke lajur lain tidak dilakukan secara berkelok-kelok (zig-zag) sehingga
dapat membahayakan keselamatan pemakai jalan lainnya.

Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

*24218 Pasal 62 Jarak antara kendaraan yaitu ruang yang tersedia
antara kendaraan satu dengan kendaraan lain. Pengemudi harus
memperhatikan/menjaga jarak antara kendaraannya dengan kendaraan yang
berada didepannya agar tidak terjadi benturan jika kendaraan yang
berada didepannya berhenti mendadak serta agar dapat dengan mudah
melakukan gerakan melewati atau mengubah hakluan ataupun pada waktu
dilewati oleh kendaraan lain. Bagi pengemudi kendaraan tidak bermotor,
apabila berjalan beriringan harus memberikan cukup ruang antara dua
iringan.

Pasal 63

Ayat (1) Huruf a Cabang persimpangan adalah jalan yang menuju ke arah
persimpangan diukur dari lengkung lingkaran persimpangan.

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Persimpangan 4 (empat) atau lebih adalah persimpangan yang
mempunyai 4 (empat) cabang persimpangan atau lebih.

Huruf d Persimpangan 3 (tiga) yang tidak lurus adalah persimpangan
yang cabang-cabangnya tidak ada yang membentuk sudut siku-siku atau
900 (sembilan puluh derajat).

Huruf e Persimpangan 3 (tiga) tegak lurus adalah persimpangan yang
salah satu cabangnya memotong cabang persimpangan lain dan membentuk
sudut siku-siku atau 900 (sembilan puluh derajat).

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 64

Cukup jelas

Pasal 65

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat
(4) Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) *24219 Cukup jelas

Pasal 67

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 68

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Ayat (1) Waktu lain dalam keadaan gelap sebagaimana dimaksud ketentuan
ini adalah keadaan yang mengakibatkan pandangan pengemudi terganggu
antara lain jalan berkabut, banyak asap, hujan lebat atau masuk
terowongan.

Ayat (2) Peralatan lampu yang dipergunakan dapat berupa lampu yang
ditempatkan pada bagian belakang kendaraan tidak bermotor seperti
gerobak, becak, sepeda serta kereta dorong dan tidak menyilaukan
pengemudi kendaraan lain yang berada dibekangnya.

Pasal 74

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 75

Cukup jelas

Pasal 76

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 77

*24220 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam pengertian sengaja membiarkan
kendaraannya ditarik oleh kendaraan bermotor adalah pengemudi
kendaraan tidak bermotor yang dengan sengaja memegang kendaraan
bermotor yang sedang berjalan dengan maksud agar kendarannya ikut
tertarik.

Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 78

Pemberian tanda pada sepeda dimaksudkan agar ia dapat lebih dikenal
oleh pemakai jalan lain, sehingga para pemakai jalan lain dapat lebih
berhati-hati.

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Cukup jelas

Pasal 81

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)

Pasal 82

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 83

Dalam keadaan tertentu dimaksud dalam ketentuan ini misalnya dalam hal
kondisi jalan tidak memungkinkan atau rusak atau perintah dari tugas
yang berwenang.

Pasal 84

Cukup jelas

Pasal 85 Ayat (1) Keadaan tertentu dimaksud dalam ketentuan ini
misalnya dalam hal suatu ruas jalan mengalami kerusakan atau sedang
dalam perbaikan sehingga perlu ditetapkan muatan sumbu terberat (MST)
lebih rendah dari yang diizinkan. *24221 Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 86

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 87

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 88

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 89

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 90

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 91

Ayat (1) Bagian jalan yang diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki,
dapat berupa trotoar maupun bagian paling kiri jalan yang diperkeras
dan telah dinyatakan dengan rambu-rambu lalu lintas sebagai pejalan
kaki.

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 92

Ayat (1) Tanda-tanda bagi penderita cacad tuna netra dapat berupa
tongkat yang dilengkapi dengan alat pemantul cahaya atau bunyi-bunyian
atau kain merah.

Ayat (2) Cukup jelas *24222 Pasal 93

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat
(4) Yangdimaksud dengan cacad tetap adalah bila sesuatu anggota badan
hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat
sembuh/pulih untuk selama-lamanya. Perawatan dapat dilakukan di rumah
sakit atau di tempat lain. Ayat (5) Cukup jelas

Pasal 94

Ayat (1) Keterangan mengenai kejadian kecelakaan, antara lain
meliputi: a. lokasi dan waktu; b. identitas dan kondisi pelaku/korban
kecelakaan; c. identitas dan kondisi kendaraan yang terlibat; d.
kondisi jalan tempat kejadian kecelakaan; e. risalah kejadian
kecelakaan.

Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui sebab-sebab
terjadinya kecelakaan melalui hasil penelitian, guna kepentingan
pencegahan terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama dikemudian
hari.

Ayat (3) Sistem informasi antara lain meliputi penetapan bentuk dan
tata cara pengisian formulir kecelakaan lalu-lintas, dan pembuatan
laporan kecelakaan lalu-lintas.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 95

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 96

Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
pemilik kendaraan memindahkan kendaraannya ke tempat yang tidak
mengganggu kelancaran lalu lintas.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 97

Ayat (1) Cukup jelas *24223 Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 98

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 99

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 100

Cukup jelas

Pasal 101

Cukup jelas

Pasal 102

Ayat (1) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan
Pemerintah yang mengatur penyerahan sebagian urusan pemerintahan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada Daerah Tingkat I dan
Daerah Tingkat II, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1990
tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang
telah diserahkan kepada Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 adalah urusan
pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 39 ayat
(3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 46, Pasal 85 ayat
(3), Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 90 ayat (1), Peraturan Pemerintah
ini.

Ayat (2) Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dan karena sifatnya masih meerupakan suatu aturan umum langsung
dari suatu undang-undang, maka sesuai dengan tatanan peraturan
perundang-undangan Indonesia pendelegasian pengaturan lebih lanjut
dari Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri.
Demikian pula pendelegasian wewenang untuk pelaksanaan urusan
pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan diberikan kepada
Menteri, karena wewenang pelaksanaan masih berada pada Pemerintah
Pusat. Dalam hal urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan akan diserahkan kepada Daerah Tingkat I dan daerah
Tingkat II, maka berdasarkan *24224 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyerahan urusan
tersebut diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah yang secara khusus
mengatur penyerahan urusan dimaksud. Pada saat mulai berlakunya
Peraturan pemerintah ini telah ditetapkan Peraturan Pemerintah yang
secara khusus mengatur penyerahan sebagian urusan pemerintahan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan berdasarkan Undang-undang Nomor
3 tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 sebagaimana dalam penjelasan
ayat (1). Dengan demikian ketentuan ini memberikan suatu penegasan
bahwa meskipun dalam pasal-pasal sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan ayat (1) ditetapkan/diatur bahwa urusan tersebut
dilaksanakan oleh Menteri, namun oleh karena telah ditetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1990 yang khusus mengatur
penyerahan sebagian urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan,
maka urusan-urusan dimaksud tetap dilaksanakan oleh Daerah Tingkat I
dan daerah Tingkat II yang telah menerima penyerahan secara nyata.

Pasal 103

Cukup jelas

Pengikut